WORKING from home (WFH) bagi sebagian orang memberikan kenyamanan yang lebih dibandingkan dengan working from office (WFO). Sirkulasi udara di dalam rumah yang lebih lancar dan tanpa pendingin ruangan membuat suasana bekerja relatif lebih menyenangkan dibandingkan bekerja pada ruangan kantor dengan kondisi minim jendela dan sirkulasi udara yang terbatas.
Memang, bukan sugesti jika sebagian pekerja kantoran merasakan beberapa gejala khas yang hanya dirasakan saat berada di dalam bangunan gedung kantor, berupa keluhan sakit kepala, iritasi mata, hidung, tenggorokan, batuk, kulit kering, pusing, mual, sulit konsentrasi dan alergi pada kulit. Dan, pada banyak kejadian, gejala ini hilang seketika saat meninggalkan kantor.
____________________________________________________________________
BACA JUGA: Meredam Pulau Bahang di Kota Kita
____________________________________________________________________
Dalam dunia kesehatan, gejala khas ini dinamakan sick building syndrome (SBS). Sick building syndrome adalah masalah kesehatan dan ketidaknyamanan yang dirasakan seseorang pada lingkungan kerja yang disebabkan oleh buruknya sirkulasi udara di dalam ruangan.
Kondisi ini diperparah dengan adanya polutan asap, emisi ozon dari mesin dan peralatan elektronik. Satu lagi yang memicu ketidaknyamanan ini, emisi formaldehida dari mebel kantor yang terbuat dari produk kayu komposit.
Kayu komposit
Studi yang dilakukan oleh Makoto Takeda dkk tahun 2009 menunjukkan sebanyak 21,6% penghuni dari bangunan yang menjadi obyek penelitian mengalami sick building syndrome. Salah satu penyebab sick building syndrome yang terkonfirmasi dalam penelitian tersebut adalah emisi formaldehida dari panel kayu komposit pada gedung yang baru ditinggali.
Kayu komposit saat ini banyak digunakan sebagai substitusi karena keterbatasan pasokan kayu solid di pasaran. Contoh panel kayu komposit yang banyak digunakan sebagai mebel adalah kayu lapis dan papan partikel.
Ekstrak tanin sawit/Deazy Rachmi
Dalam proses pembuatannya, kayu komposit memerlukan lem atau perekat sebagai pengikat lapisan lembaran atau partikel kayu. Proses perekatan ini menghasilkan produk yang menyerupai kayu solid.
Perekat yang umum digunakan dalam industri kayu lapis dan papan partikel antara lain urea formaldehida, melamin, fenol dan resorsinol formaldehida. Perekat-perekat ini merupakan perekat sintetis yang ekonomis dan mudah diperoleh di pasaran.
Kelemahan perekat sintetis ini adalah kandungan formaldehida bebas yang akan teremisi setelah proses perekatan menjadi produk komposit. Kandungan formaldehida bebas ini dapat bertahan dan teremisi perlahan-lahan dari produk hasil perekatan selama bertahun-tahun lamanya.
____________________________________________________________________
BACA JUGA: Solusi Mikroba untuk Reklamasi Lahan Tambang
____________________________________________________________________
Penelitian yang dilakukan Chuck Yu dan Jeong Tai Kim pada tahun 2012 menunjukkan bahwa produk kayu komposit masih mengeluarkan formaldehida ke udara bebas hingga tahun ketujuh penggunaan produk tersebut. Jadi, selama tujuh tahun lamanya pengguna ruangan tersebut menghirup emisi formaldehida dari produk perekat kayu komposit. Dampak yang ditimbulkannya tentu saja sangat merugikan kesehatan.
Pada tahun 1992, California Air Rescue Board menyatakan bahwa formaldehida adalah polutan beracun yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan mata, pernafasan, iritasi tenggorokan, iritasi kulit dan kanker. Setelah melakukan evaluasi terhadap formaldehida, pada tahun 2004 the International Agency for Research on Cancer (IARC) menyimpulkan bahwa emisi formaldehida dapat menyebabkan kanker nasofaring pada manusia.
Emisi formaldehida dapat tercium pada konsentrasi 0,1 ppm dengan bau menyengat yang khas. Pada konsentrasi 50 ppm, emisi ini dapat menyebabkan kematian pada orang yang memiliki resiko tinggi.
halaman berikutnya ...