Isu gender dalam pengelolaan sumberdaya alam sebetulnya sudah lama jadi diskursus akademik. Bahkan eskalasi perbincangannya saat ini kian menguat.
Sebuah studi ilmiah yang mengarsipkan artikel dengan tema tersebut mencatat, dari 1992 sampai September 2018 ada 537 artikel ilmiah yang dipublikasikan di 171 jurnal. Uniknya, dari 83 negara lokasi studi, Indonesia selalu ditempatkan sebagai lokasi yang serius diperbincangkan terkait isu perempuan di sektor lingkungan hidup dan kehutanan (Nhem & Lee, 2019).
Perbincangan gender sebetulnya tidak melulu soal perbedaan jenis kelamin. Ada baiknya perbincangan ini dilihat pula dari perspektif sosial berserta dinamika yang mengiringinya.
_________________________________________________________________
BACA JUGA:
Orang-Orang Handil dan Kenangan Kejayaan Pangan
_________________________________________________________________
Penganut eco-feminisme misalnya, akan berargumentasi secara ideologis. Bahwa perempuan sebetulnya punya peran penting dalam kehidupan alam semesta (Makalle, 2012). Di hampir seluruh tempat di dunia sering disebutkan kalau bumi sering asosiasikan sebagai ibu (Mikkelsen, 2005; Nightingale, 2006).
Dari sinilah, mengapa eco-feminists selalu memposisikan perempuan sebagai aktor yang harus didukung penuh. Dukungan diberikan utamanya soal peran perempuan dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Empat Perempuan Ngadha dari Sao Neguwula (dok Budiyanto)
Meski demikian, kehendak filosofis dari para eco-feminists tersebut tentu tidak selamanya sejalan dengan realitas sosial yang terjadi. Penyelidikan kami di Kabupaten Ngadha menunjukkan hal sebaliknya.
halaman selanjutnya: ...perempuan bekerja lebih banyak.