KEBAKARAN hutan dan lahan masih menjadi masalah nasional hingga saat ini. Di tujuh provinsi rawan kebakaran Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, kebakaran terjadi hampir setiap tahun terutama pada musim kemarau. Bahkan kini di musim penghujan pun, sekitar Januari lalu, di beberapa lokasi sudah mulai terjadi kebakaran, seperti peristiwa di Riau pada awal tahun ini
Dampak dari kebakaran sangat merugikan banyak pihak dari berbagi aspeknya, baik aspek ekologis, sosial, ekonomi bahkan politik. Kebakaran memberangus eksistensi keanekaragaman hayati berbagai jenis pohon, mikroba tanah dan mikroorganisme lainnya yang memiliki peran penting dalam ekosistem hutan.
Lebih jauh, kebakaran terutama yang terjadi di lahan gambut, juga menyebabkan kabut asap yang sangat mengganggu. Kabut asap berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat, selain aktivitas sosial dan ekonomi lain, seperti penundaan atau pembatalan jadwal penerbangan akibat keterbatasan jarak pandang.
___________________________________________________________________
BACA JUGA: Pertanian Polybag, Menjawab Tantangan Lahan Gambut
___________________________________________________________________
Bahkan kabut asap juga dapat meningkatkan tensi hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara tetangga, khususnya di wilayah Asia Tenggara. Ini semua jelas merugikan. Jika dihitung, kerugian akibat kebakaran di Indonesia sepanjang 2019 menurut Bank Dunia mencapai 72,95 trilyun (kompas.com, 11 Desember19).
Mahal dan sulit
Penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia menghabiskan dana yang cukup besar. Dalam sebuah diskusi online mengenai Kebakaran Hutan dan Lahan, pada 9 Mei 2020 lalu, ahli kebakaran hutan dan lahan yang juga Guru Besar IPB, Prof. Bambang Hero Sahardjo menyatakan hampir 50% total realisasi anggaran penanggulangan bencana digunakan untuk penanganan kebakaran hutan dan lahan.
Lebih rinci dijelaskan bahwa realisasi anggaran penanggulangan bencana yang dikeluarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 2019 mencapai Rp 6,7 Trilyun. Dari total anggaran tersebut, khusus untuk penanggulangan kebakaran menghabiskan anggaran Rp 3,2 trilyun, selebihnya digunakan untuk menanggulangi gempa, tsunami, banjir, longsor dan lainya.
Salah satu komponen berbiaya besar dalam penanggulangan kebakaran adalah penggunaan teknik pengeboman air (water bombing). Ini merupakan salah satu cara penanggulangan kebakaran melalui udara. Pemadaman melalui udara biasanya ditempuh ketika pendekatan penanggulangan darat sudah tidak dapat dilakukan.
Lokasi kebakaran biasanya juga terpencil atau aksesibilitasnya rendah, sehingga sulit ditempuh melalui transportasi darat. Padahal berdasarkan informasi praktisi di lapangan, teknik ini relatif kurang efektif terutama pada kasus kejadian kebakaran di lahan gambut. Sementara itu biasanya kebakaran di lahan gambut inilah dapat terjadi hingga berbulan-bulan.
Kebakaran di lahan gambut jelas berbeda karakternya dengan kebakaran di tanah mineral. Di tanah mineral, api akan melahap bahan bakar (vegetasi, serasah, dan sejenisnya) yang berada di atas permukaan tanah.
Kebakaran terhenti dengan habisnya bahan terbakar atau ketika kegiatan pemadaman berhasil. Pemadaman kebakaran di tanah mineral umumnya berhasil karena jalaran api terlihat jelas sehingga relatif lebih mudah dan terukur untuk menjadi target pemadaman.
___________________________________________________________________
BACA JUGA: Tanam Pinang untuk Selamatkan Lahan Gambut
___________________________________________________________________
Namun sangat berbeda dengan kebakaran di lahan gambut. Api melahap bahan bakar baik yang berada di bagian atas maupun di bawah permukaan. Api menjalar di bawah permukaan lahan tidak nampak secara jelas. Arah kebakarannya pun tidak dapat diprediksi sehingga sulit memastikan bahwa pemadaman telah benar-benar mematikan api atau bara api.
Selain itu asap yang dihasilkan pada kebakaran di lahan gambut juga sangat tebal. Dalam buku “Pemahaman dan Solusi Masalah Kebakaran Hutan di Indonesia”, Prof. Acep Akbar menjelaskan bahwa kabut asap terjadi karena proses pembakaran tidak sempurna. Berbagai jenis gas yang terbentuk dari pembakaran terkondensasi terlihat sebagai asap.
Asap tebal ini dapat menjadi penghalang proses pengeboman air dengan menggunakan helikopter atau pesawat terbang lain. Dalam kondisi tersebut jelas terlihat bahwa pemadaman kebakaran di lahan gambut itu tidak mudah. Salah satu contohnya adalah kasus kebakaran 2019 di Provinsi Kalimantan Tengah. Provinsi ini memiliki lahan gambut seluas 2,66 juta ha, dan ketika kebakaran terjadi, pemadaman sempurna terjadi saat musim hutan tiba.
Peran strategis desa
Menyadari besarnya kerugian yang timbul dari kejadian kebakaran serta tingkat kesulitan pemadaman khususnya di lahan gambut, sebaiknya upaya yang perlu diutamakan adalah pencegahan kebakaran. Secara praktis pencegahan kebakaran dimaksudkan meminimalisir potensi terjadinya kebakaran termasuk dampak yang ditimbulkannya.
Upaya pencegahan dapat dilakukan, antara lain dengan penerapan teknik Penyiapan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) dan pemadaman api sedini mungkin agar kebakaran tidak meluas. Upaya pencegahan ini harus dilakukan di tingkat tapak. Lalu pertanyaan adalah dimana dan siapa yang tepat melakukan pencegahan kebakaran di tingkat tapak?
Penyiapan Lahan Tanpa Bakar oleh masyarakat di Kabupaten Katingan Kalteng/Budiningsih
Titik kebakaran biasanya terjadi di kawasan hutan atau lahan yang di sekitarnya terdapat pemukiman penduduk. Secara administratif kebanyakan wilayah tersebut masuk dalam wilayah administratif desa. Oleh karena itu, desa merupakan institusi terdekat dengan kejadian kebakaran. Dengan demikian maka desa memiliki peran strategis untuk pencegahan kebakaran hutan dan lahan di tingkat tapak.
Di desa, siapa yang semestinya berperan? Merujuk Sutarjo Kartohadikusumo dalam bukunya Desa (1953) bahwa desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Di sini berarti desa itu terdiri dari wilayah, masyarakat dan pemerintahan desa. Yang semestinya berperan adalah masyarakat desa dan pemerintahan desa.
Sebenarnya selama ini pemerintah telah mengajak masyarakat untuk secara aktif terlibat dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Secara voluntary, masyarakat ditawarkan untuk bergabung dalam wadah kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan wilayahnya, salah satunya dari ancaman kebakaran hutan.
Salah satu wadah kelompok masyarakat yang diinisiasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yaitu Masyarakat Peduli Api (MPA). Hingga saat ini KLHK telah membentuk 9.963 MPA di seluruh Indonesia.
___________________________________________________________________
BACA JUGA: Purun dan Pemberdayaan Perempuan Desa
___________________________________________________________________
Berdasarkan pengamatan penulis saat melakukan pengumpulan data terkait kesiagaan desa dalam pengendalian kebakaran di beberapa provinsi di Sumatera dan Kalimantan, umumnya kondisi MPA ini masih terdapat kekurangan.
Masih ditemukan sebagian MPA dengan minimnya Alat Pelindung Diri (APD), kurangnya peralatan dan mesin pemadaman, terbatasnya pendampingan, dan ketidaktersediaan anggaran operasional.
Selain KLHK, Kementerian dan Lembaga lainnya juga telah menginisiasi pembentukan regu pengendali kebakaran di tingkat desa ataupun melakukan pendekatan pengendalian kebakaran berbasis desa. Kelompok Tani Peduli Api (KTPA) digagas oleh Kementerian Pertanian. Desa Tangguh Bencana menjadi salah satu program BNPB. Desa Peduli Gambut dibentuk oleh Badan Restorasi Gambut (BRG).
Dalam dua tahun terakhir, pemerintah desa juga mulai bergerak untuk terlibat dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan di wilayahnya. Sebagian desa sudah mengalokasikan anggaran Dana Desanya untuk mengatasi bencana secara umum termasuk kebakaran hutan dan lahan. Hanya saja alokasi anggaran masih sangat terbatas.
Sinergi berdayakan desa
Pemerintah menyadari bahwa persoalan kebakaran hutan dan lahan merupakan persoalan yang kompleks yang perlu diatasi secara lintas sektor dan lintas kewenangan. Terkait dengan hal ini, Presiden telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) terkait pengendalian kebakaran hutan dan lahan sejak tahun 2011.
Patroli pencegahan karhutla bersama masyarakat/Zainudin
Inpres tersebut beberapa kali mengalami pembaruan hingga yang terakhir Inpres No 3 tahun 2020 tentang Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan. Dalam Inpres tersebut menginstruksikan 28 institusi meliputi kementerian dan lembaga di level pusat dan daerah, serta pimpinan daerah, baik gubernur, bupati, maupun walikota.
Inpres No. 3/2020 dapat dijadikan sebagai landasan untuk mendorong terwujudnya sinergi pemerintah di level pusat dan daerah untuk memberdayakan desa agar desa mampu berperan dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan.
Selain itu pihak swasta dan organisasi masyarakat sipil juga diajak bersama-sama melakukan konvergensi program dan kegiatan, serta fasilitasi untuk dapat mewujudkan desa menjadi garda terdepan yang sigap dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan.*